Saturday, November 29, 2014

the Coffee Shop (part 1)

sore ini begitu membosankan bagiku, melihat orang berlalu lalang di depan mataku membuatku pusing. mengapa orang begitu sibuk dengan kehidupannya dan tidak memberikan waktu barang sedetik untuk duduk menikmati kopi hangat di sore hari.
sore ini tidak begitu cerah seperti biasanya. tak ada cahaya khas sore hari yang bisa kunikmati biasanya. mungkin karena suasana hati yang menyebabkan mendungnya sore ini menjadi semakin suram. hampir setengah jam ku menunggu teman ku. teman bisa aku bilang begitu walaupun ada rasa yang terselip di antara pertemanan ini. rasa yang normal saat seorang lelaki melihat wanita yang parasnya rupawan dan hatinya pun tidak jauh berbeda dengan selembar kain sutra putih yang halus dan lembut. tutur kata yang dia keluarkan selalu teratur, tidak ada kata-kata kasar yang dia keluarkan. begitu pas untuk menjadi pendamping hidup. tetapi takdir mengatakan yang sebaliknya. aku dan Anna hanya bisa berteman.
pertama kali kita bertemu adalah di coffe shop ini. aku melihatnya duduk di tempat yang aku duduki sekarang. begitu anggun dan tenang saat pertama kali ku melihat wajahnya. saat itu ku melihatnya sendiri termenung. ku lihat bibirnya bergerak gerak seakan dia sedang berbicara dengan seseorang di depannya. tetapi faktanya dia hanya sendiri. sesuat yang aneh tapi menarik bagiku. mataku seakan terpaku dengan parasnya yang menenangkan. rasa penasaran pun mulai mendatangiku, hal yang tak biasa. mungkin karena waktu itu aku pun sedang sendiri menikmati secangkir kopi hitam untuk melemaskan beberapa otot ku yang tegang karena penatnya tugas-tugas dosen dan beberapa proyek yang tak kunjung selesai.
aku pun memberanikan diri untuk mendatanginya, tapi sebelum melangkah aku mulai bingung hal apa yang harus aku tanyakan padanya. "hai...namaku Arthur, boleh saya duduk di sini ?" sebuah
pertanyaan bodoh  yang sempat melintas di kepalaku saat itu, dan aku pun sudah memprediksi jawaban yang akan aku dapatkan adalah "hai...di sana masih banyak kursi kosong mengapa kau harus duduk di sini ?". aku tidak mau terlihat bodoh, kesan pertama yang ingin aku dapatkan adalah hal positif. setelah berpikir cukup lama, ku lihat dia menyenderkan kepalanya ke jendela yang basah karena hujan. wajahnya yang menenangkan nampak berubah menjadi suram dan menyedihkan. gaun merah yang dia kenakan yang harusnya membuat dia lebih bersemangat tapi kenyataannya membuatnya sedih. dahi ku mengkerut dan mulai mempertanyakan apa yang terjadi dengannya. apa lah arti rasa penasaran bila tidak ada usaha untuk mencari sebuah jawaban pasti ?.
akhirnya diriku memberanikan diri untuk mendekati mejanya sambil membawa secangkir kopi hitamku yang mulai mendingin karena bosan menunggu diri ku terlalu banyak berpikir untuk mendekati seorang wanita.
"hei...euuu... boleh gabung duduk di sini ?" tanyaku sambil tergagap-gagap karena gugup, belum pernah sebelumnya ku menegur seorang wanita di tengah keramaian entah apa yang sampai mendorongku sampai berani seperti ini. "eeeuu....apakah kita pernah bertemu sebelumnya ?" jawab Anna sambil memicingkan matanya. "belum, kita belum pernah bertemu sebelumnya" detak jantungku semakin cepat, keringat dingin mulai membasahi tanganku dan akhirnya ku letakkan cangkir kopi ku untuk mengenalkan diri. "namaku Arthur, mahasiswa Arsi. kamu ?" otaku memberikan respon langsung ke otot-otot tanganku seakan memerintahkan tangan kananku untuk terangkat tanpa seijinku sebagai pemilik tubuh. "namaku Anna, mahasiswi sastra Indonesia" tangan kami pun saling menjabat sebuah kelegaan yang akhirnya ku dapatkan setelah kejadian kikuk selama 5 menit yang terasa 5 jam bagiku.
jantungku mulai berdetak normal dan aku pun duduk di sebrangnya dan kulihat dirinya kembali menyenderkan kepala nya ke jendela yang mengembun karena hujan. "apa kamu senang dengan hujan ? akhir-akhir ini hujan seakan - akan senang membasahi tanah-tanah kering di kota ini, tetapi tidak semua orang bisa menikmati hujan yang bila kita nikmati dengan secangkir kopi hitam hangat seperti ini hujan akan terasa lebih indah" sebuah kalimat yang mendadak keluar dari mulutku, aku tidak terlalu berpikir banyak untuk saat ini karena tidak ada gunanya lagi berpikir panjang hanya untuk memulai sebuah percakapan. "hmmmmm....hujan itu memang indah tetapi terlalu banyak orang mengumpat karenanya, mungkin mereka tidak tahu cara menikmatinya. mereka terlalu takut dengan air yang berjatuhan dari langit, mereka terlalu sayang dengan dirinya sendiri. mungkin hujan tidak mempunyai teman yang indah seperti matahari mempunyai bulan sebagai rekan kerja untuk menyinari langit-langit di siang dan malam hari tapi hujan ? hujan hanya memiliki petir sebagai temannya, aku tak tahu pasti apakah petir adalah temannya atau musuhnya. yang ku tahu pasti saat ada hujan maka ada petir" Anna menjawab pertanyaanku sambil mengaduk-aduk coklat panas di mejanya.
"bagaimana dengan angin ?" aku bertanya sambil meminum kopi hitamku yang semakin lama semakin dingin karena angin hujan yang basah membawa hawa dingin yang seakan bisa menyelinap masuk ke dalam jaketku dan menyentuh kulitku. "angin ? angin hanyalah sebuah udara yang terhembus karena hujan, angin hanya sebuah pelengkap. angin seperti jaket yang kamu pakai. dia hanya pelengkap pakainmu tetapi bila tidak ada jaket pakaianmu masih terlihat utuh bukan ? itu jawabanku untuk pertanyaan mu tentang angin. aku tidak terlalu mempedulikannya karena bukan hal yang penting, yang terpenting adalah air yang terjun sukarela dari beribu-ribu meter atas sana hanya untuk membasahi tanah-tanah kering di kota ini"
"ada apa dengan dirimu Anna, maaf bukan maksudku tidak sopan bertanya seperti ini tetapi aku melihat sebuah kesedihan yang tersembunyi  di balik gaun merah mu" pertanyaanku mungkin semakin sensitif tetapi rasa penasaranku pun semakin jauh karena jawaban-jawaban sinis yang Anna lontarkan. "tidak, tidak apa-apa aku hanya ingin sendiri saja menikmati waktuku yang sempat terbuang sia-sia karena seseorang" Anna kembali meletakan kepalanya di jendela kaca yang memantulkan sinar-sinar tidak jelas dari lampu-lampu kendaraan yang bersliweran dari depan coffe shop ini.
aku pun mulai mengganti topik perbincangan yang aku rasa semakin meruncing. aku rasa hati Anna memang sedang terluka dan memang ingin sendiri. aku merasa seperti keledai yang berlagak gagah seperti kuda stalion, tapi apa salahnya keledai berlagak gagah walaupun tidak akan bisa merubah takdir bila keledai adalalah keledai dan kuda stalion adalah kuda stalion. aku pun mulai menggosok-gosokan tangan ku karena angin dingin yang terbawa hujan seakan senang menjamahi kulit-kulitku. kejanggalan yang kurasa adalah Anna seperti tidak memperdulikan angin dingin yang menyentuh tubuhnya. dia sangat fokus menikmati air yang turun dari langit. "apakah kau tidak merasa dingin ? apakah kau ingin aku pesankan secangkir kopi panas untuk menghangatkan diri ?"
"tidak...segelas coklat panas pun belum setengah aku minum. badanku tidak merasakan apapun saat ini tetapi hati ku berasa beku." Anna pun menunduk dan termenung. "kau boleh mengutarakan kekeasalanmu padaku Anna, ya mungkin kita baru kenal beberapa menit yang lalu tapi apa salahnya kau mengeluarkan kesedihan mu untuk menghangatkan hatimu yang beku itu. aku adalah pendengar yang baik, beberapa temanku memberikanku julukan 'si tempat sampah' karena aku lah tempat mereka bercerita dan berkeluh kesah. itu pun bila kau tidak keberatan bercerita aku hanya ingin meringankan beban hati mu." aku pun ikut gelisah melihatnya, sesuatu yang ku benci adalah melihat seorang wanita sedih karena teringat dengan ibu ku. aku tak suka melihat ibuku melamun sedih karena itu aku mencoba untuk memberikan solusi yang mungkin Anna waktu itu butuhkan.
"senang bertemu dengan anda Arthur tapi mungkin hari ini bukan hari yang tepat untukku bertemu dengan orang baru" Anna mengangkat tangan kanannya yang putih ke depan wajahku yang nampak kebingungan. aku pun menjabat tangannya yang dingin karena hawa dingin kota ini semakin menusuk. "ohh...oke Anna, maaf aku mengganggu sore yang semestinya kau nikmati sendiri."  Anna pun pergi meninggalkan ku, otak ku mulai berdebat dengan hatiku. otaku seakan menyuruhku untuk menyusulnya tapi hatiku menyuruhku lebih jauh lagi. "kenapa kau tidak mengantarkan dia pulang ? aku tau dirimu keledai yang berlagak seperti kuda stalion tetapi apalah hasil dari lagak sok menjadi kuda stalion tanpa kau menjadi kuda stalion ! bila kau hanya menatapnya dari jauh, memang takdirmu yang hanya bisa menjadi keledai !" 
aku pun bergegas menjemputnya meninggalkan secangkir kopi hitamku  dingin.


to be continue


alta titus

Wednesday, November 12, 2014

BOCAH DAN LANGIT

"aku ingin keluar bu...biarkan aku bermain bersama teman-temanku" rengek rangga, seorang bocah yang masih berumur tujuh tahun yang ingin menikmati keriangan di bawah dinginnya air hujan. "ibu tidak ingin kau sakit, ibu bukan seperti orang tua teman-temanmu yang mudah saja membiarkan anak-anaknya bermain di bawah guyuran air hujan !" ibu rangga adalah orang yang terlalu memanjakan rangga.

Tuesday, November 11, 2014

Hujan

hujan mungkin adalah salah satu sahabatku, matahari ? aku tak terlalu suka dengannya. dia hanya bisa memberikan sinar panas yang bisa membakar tubuhku berbeda dengan hujan yang selalu membawa ketenangan dan keceriaan. bagi yang menyadarinya.


tak terasa pipi ini merasakan tetesan air yang berasal dari mata ini. entah kenapa mata ini mengeluarkan air yang tak diharapkan kehadiranya. kehilangan seseorang adalah sesuatu hal yang sangat menyakitkan apalagi yang meninggalkan kita adalah orang yang paling kita sayang dan cinta.
sebuah undangan pernikahan di genggamnya dengan erat. seorang wanita yang tersakiti akan getirnya cinta yang tak memandang bulu tak memandang kelas sosial dan bentuk rupa seseorang.
"aku hanya bisa melihat dari jendela betapa indahnya hujan sore ini" sambil melihat undangan itu "tapi apakah besok aku bisa menjadi indah tanpamu seperti hujan sore ini ?" Anna pun terpejam dan mulai melihat kebelakang, mengenang memori-memori indah bersama pria yang besok akan menikahi orang lain. sungguh bukan hal yang mudah melupakan seseorang yang selalu ada dalam kurun waktu yang panjang. Anna tersentak saat temannya menepuk punggungnya "hei, kamu masih ingin pergi ke pernikahannya ?"  tanya temannya. "entah, aku masih merasa kikuk bila aku datang ke sana, apa yang harus aku lakukan ? tersenyum palsu menghadapi kenyataan yang pahit ini ?" . sambar temanya "tak ada yang manis dalam kehidupan ini bila kamu percaya, tapi bila kamu  bisa melewatinya dengan senyuman indah, percayalah semua kepahitanmu akan menjadi manis dan kegetiranmu akan menjadi sebuah keindahan yang tidak akan kamu lupakan."
saat petir menyambar anna menyadari tidak ada yang berbicara dengannya, dia hanya berbicara dengan isi hatinya sendiri. tak ada yang menemaninya. kebimbangan yang merasuki dirinya semakin masuk dalam jurang hati yang terdalam. dia hanya bisa memandangi air hujan yang terus turun membasahi bumi tiada henti. tak dirasa lagi air matanya mulai membasahi pipinya saat dia  mengarungi memori masa lalu bersamanya. saat dia melihat foto bersama pria tersebut hatinya begitu kalut tidak karuan, otaknya seakan menciut menjadi sekecil biji jeruk membuatnya tidak bisa berpikir jernih. hatinya seakan tersambar petir.
dia menatap hujan di luar begitu dalam, kesedihan dan kepiluan hatinya semakin menjadi jadi saat dia melihat air hujan di lepaskan begitu saja dari genggaman awan gelap di atasnya. air hujan begitu bebas terjun  menuju bumi dan membasahi nya tanpa beban. awan bagaikan dia yang melepaskan begitu saja tanpa ada beban, dan aku lah air hujan yang turun ke bumi.
"tapi apakah aku harus mati dan tenggelam dalam pedihnya perasaan ini yang tersambar petir ? tapi aku tak mau melihatnya dengan orang lain, kenapa dia harus meninggalkan ku ? aku tak habis pikir dengan semua ini ? apakah karena aku yang kurang bisa memenuhi ekspektasi dia ? aku telah memberikan segalanya untuknya tetapi dia tidak memberikan sebaliknya ? "
plak !!! ....tamparan keras mendarat di pipinya yang basah karena air mata dan suara petirpun bagaikan tamparan untuk hatinya..."hei...BANGUN ! lihat dirimu ! bagaikan fakir miskin yang tak berotak dan tak bertuan, mengais-ngais belas kasihan dan memohon mohon recehan tak berarti dari mereka orang-orang kaya yang tidak peduli dengan dirimu !" anna pun terdiam, sentakan yang membuatnya terbangun dari mimpi buruk nya. " CINTA yang AGUNG
Adalah ketika kamu menitikkan air mata
dan MASIH peduli terhadapnya..
Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu MASIH
menunggunya dengan setia..
Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain
dan kamu MASIH bisa tersenyum sembari berkata
‘Aku turut berbahagia untukmu’
Apabila cinta tidak berhasil…
BEBASKAN dirimu…
Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya
dan terbang ke alam bebas LAGI ..
Ingatlah…
bahwa kamu mungkin menemukan cinta dan
kehilangannya..
tapi..ketika cinta itu mati..kamu TIDAK perlu mati
bersamanya…
Orang terkuat BUKAN mereka yang selalu
menang..
MELAINKAN mereka yang tetap tegar ketika
mereka jatuh
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…
seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu…
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…
seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada…”
“…pabila cinta memanggilmu…
ikutilah dia walau jalannya berliku-liku…
Dan, pabila sayapnya merangkummu…
pasrahlah serta menyerah,
walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu…”
mendengar kata-kata indah itu anna langsung memalingkan wajahnya dari jendela yang telah basah kuyup karena hujan deras tiada henti.
matahari akhirnya menyerah, karena awan-awan gelap yang menyelimutinya seharian matahari tidak bisa menunjukan kedigdayaanya sinarnya begitu redup seperti hati anna. dan hujan pun akhirnya berakhir dan bulan pun menjadi satu-satunya terang di gelapnya malam. tak tampak bintang-bintang menemani bulan yang hanya berdiri sendiri tapi bulan begitu bersinar dengan kuasanya. tidak ada halangan, tidak ada awan gelap yang mengakibatkan hujan di kota kembang.
tetes-tetes sisa hujan di siang hari menemani malam anna yang mulai bisa bangkit dari kepedihan hatinya. suara air itu membuatnya bisa berpikir lebih logis dan jernih. saat dia melihat undangan pernikahan dari seseorang yang dia pernah cintai, dia memberanikan diri untuk melihat lokasi dimanakah pernikahan itu akan diadakan. saat dia melihat lokasi dan nama dari kedua mempelai yang esok akan menjadi raja dan ratu untuk sehari itu, tak ada air mata yang menetes karena sudah habis seperti hujan yang akhirnya berakhir membasahi bumi. tarikan nafas yang dalam memperlihatkan bila dia berusaha untuk membesarkan hatinya untuk menerima kenyataan bila dia sudah di tinggalkan jauh. harapan dan hayalan yang dia bangun dulu bersama lelaki itu seakan sirna bagaikan alang-alang yang di tiup sekuat tenaga.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu…Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada…” anna melihat dirinya di cermin kamarnya. "aku mungkin orang yang lemah, tetapi aku bisa menghadapimu dengan sebuah senyuman yang bisa merubahku menjadi orang yang tegar"
matanya pun terpejam, menikmati kedamaian hati yang akhirnya dia dapatkan. seperti bulan yang mendapatkan langit yang bebas dari awan gelap yang menghasilkan butir-butir air hujan.
keesokan harinya, saat matahari sedikit  menunjukan sinar kuning yang menghangatkan kamar anna. anna pun tersenyum melihatnya. baru kali ini dia tersenyum kepada matahari. sebuah tantangan yang tak pernah dia lakukan.
sebuah gaun merah indah sudah dia persiapkan untuk pergi ke pernikahan yang tentunya bakal lebih indah bila dia pun bisa menghadapinya dan menerima tantangan kehidupannya walaupun tantangan itu terselip sebuah pisau kecil yang akan melukai hatinya.



tamat







alta titus