sore ini begitu membosankan bagiku, melihat orang berlalu
lalang di depan mataku membuatku pusing. mengapa orang begitu sibuk dengan
kehidupannya dan tidak memberikan waktu barang sedetik untuk duduk menikmati
kopi hangat di sore hari.
sore ini tidak begitu cerah seperti biasanya. tak ada cahaya
khas sore hari yang bisa kunikmati biasanya. mungkin karena suasana hati yang
menyebabkan mendungnya sore ini menjadi semakin suram. hampir setengah jam ku
menunggu teman ku. teman bisa aku bilang begitu walaupun ada rasa yang terselip
di antara pertemanan ini. rasa yang normal saat seorang lelaki melihat wanita
yang parasnya rupawan dan hatinya pun tidak jauh berbeda dengan selembar kain
sutra putih yang halus dan lembut. tutur kata yang dia keluarkan selalu
teratur, tidak ada kata-kata kasar yang dia keluarkan. begitu pas untuk menjadi
pendamping hidup. tetapi takdir mengatakan yang sebaliknya. aku dan Anna hanya
bisa berteman.
pertama kali kita bertemu adalah di coffe shop ini. aku
melihatnya duduk di tempat yang aku duduki sekarang. begitu anggun dan tenang
saat pertama kali ku melihat wajahnya. saat itu ku melihatnya sendiri
termenung. ku lihat bibirnya bergerak gerak seakan dia sedang berbicara dengan
seseorang di depannya. tetapi faktanya dia hanya sendiri. sesuat yang aneh tapi
menarik bagiku. mataku seakan terpaku dengan parasnya yang menenangkan. rasa penasaran
pun mulai mendatangiku, hal yang tak biasa. mungkin karena waktu itu aku pun
sedang sendiri menikmati secangkir kopi hitam untuk melemaskan beberapa otot ku
yang tegang karena penatnya tugas-tugas dosen dan beberapa proyek yang tak
kunjung selesai.
aku pun memberanikan diri untuk mendatanginya, tapi sebelum
melangkah aku mulai bingung hal apa yang harus aku tanyakan padanya.
"hai...namaku Arthur, boleh saya duduk di sini ?" sebuah
pertanyaan bodoh yang
sempat melintas di kepalaku saat itu, dan aku pun sudah memprediksi jawaban
yang akan aku dapatkan adalah "hai...di sana masih banyak kursi kosong
mengapa kau harus duduk di sini ?". aku tidak mau terlihat bodoh, kesan
pertama yang ingin aku dapatkan adalah hal positif. setelah berpikir cukup
lama, ku lihat dia menyenderkan kepalanya ke jendela yang basah karena hujan.
wajahnya yang menenangkan nampak berubah menjadi suram dan menyedihkan. gaun
merah yang dia kenakan yang harusnya membuat dia lebih bersemangat tapi
kenyataannya membuatnya sedih. dahi ku mengkerut dan mulai mempertanyakan apa
yang terjadi dengannya. apa lah arti rasa penasaran bila tidak ada usaha untuk
mencari sebuah jawaban pasti ?.
akhirnya diriku memberanikan diri untuk mendekati mejanya
sambil membawa secangkir kopi hitamku yang mulai mendingin karena bosan
menunggu diri ku terlalu banyak berpikir untuk mendekati seorang wanita.
"hei...euuu... boleh gabung duduk di sini ?"
tanyaku sambil tergagap-gagap karena gugup, belum pernah sebelumnya ku menegur
seorang wanita di tengah keramaian entah apa yang sampai mendorongku sampai
berani seperti ini. "eeeuu....apakah kita pernah bertemu sebelumnya
?" jawab Anna sambil memicingkan matanya. "belum, kita belum pernah
bertemu sebelumnya" detak jantungku semakin cepat, keringat dingin mulai
membasahi tanganku dan akhirnya ku letakkan cangkir kopi ku untuk mengenalkan
diri. "namaku Arthur, mahasiswa Arsi. kamu ?" otaku memberikan respon
langsung ke otot-otot tanganku seakan memerintahkan tangan kananku untuk
terangkat tanpa seijinku sebagai pemilik tubuh. "namaku Anna, mahasiswi
sastra Indonesia" tangan kami pun saling menjabat sebuah kelegaan yang
akhirnya ku dapatkan setelah kejadian kikuk selama 5 menit yang terasa 5 jam
bagiku.
jantungku mulai berdetak normal dan aku pun duduk di
sebrangnya dan kulihat dirinya kembali menyenderkan kepala nya ke jendela yang
mengembun karena hujan. "apa kamu senang dengan hujan ? akhir-akhir ini
hujan seakan - akan senang membasahi tanah-tanah kering di kota ini, tetapi
tidak semua orang bisa menikmati hujan yang bila kita nikmati dengan secangkir
kopi hitam hangat seperti ini hujan akan terasa lebih indah" sebuah
kalimat yang mendadak keluar dari mulutku, aku tidak terlalu berpikir banyak
untuk saat ini karena tidak ada gunanya lagi berpikir panjang hanya untuk
memulai sebuah percakapan. "hmmmmm....hujan itu memang indah tetapi
terlalu banyak orang mengumpat karenanya, mungkin mereka tidak tahu cara
menikmatinya. mereka terlalu takut dengan air yang berjatuhan dari langit,
mereka terlalu sayang dengan dirinya sendiri. mungkin hujan tidak mempunyai
teman yang indah seperti matahari mempunyai bulan sebagai rekan kerja untuk
menyinari langit-langit di siang dan malam hari tapi hujan ? hujan hanya
memiliki petir sebagai temannya, aku tak tahu pasti apakah petir adalah
temannya atau musuhnya. yang ku tahu pasti saat ada hujan maka ada petir"
Anna menjawab pertanyaanku sambil mengaduk-aduk coklat panas di mejanya.
"bagaimana dengan angin ?" aku bertanya sambil
meminum kopi hitamku yang semakin lama semakin dingin karena angin hujan yang
basah membawa hawa dingin yang seakan bisa menyelinap masuk ke dalam jaketku
dan menyentuh kulitku. "angin ? angin hanyalah sebuah udara yang terhembus
karena hujan, angin hanya sebuah pelengkap. angin seperti jaket yang kamu
pakai. dia hanya pelengkap pakainmu tetapi bila tidak ada jaket pakaianmu masih
terlihat utuh bukan ? itu jawabanku untuk pertanyaan mu tentang angin. aku
tidak terlalu mempedulikannya karena bukan hal yang penting, yang terpenting
adalah air yang terjun sukarela dari beribu-ribu meter atas sana hanya untuk
membasahi tanah-tanah kering di kota ini"
"ada apa dengan dirimu Anna, maaf bukan maksudku tidak
sopan bertanya seperti ini tetapi aku melihat sebuah kesedihan yang
tersembunyi di balik gaun merah mu"
pertanyaanku mungkin semakin sensitif tetapi rasa penasaranku pun semakin jauh
karena jawaban-jawaban sinis yang Anna lontarkan. "tidak, tidak apa-apa
aku hanya ingin sendiri saja menikmati waktuku yang sempat terbuang sia-sia
karena seseorang" Anna kembali meletakan kepalanya di jendela kaca yang
memantulkan sinar-sinar tidak jelas dari lampu-lampu kendaraan yang bersliweran
dari depan coffe shop ini.
aku pun mulai mengganti topik perbincangan yang aku rasa
semakin meruncing. aku rasa hati Anna memang sedang terluka dan memang ingin
sendiri. aku merasa seperti keledai yang berlagak gagah seperti kuda stalion,
tapi apa salahnya keledai berlagak gagah walaupun tidak akan bisa merubah
takdir bila keledai adalalah keledai dan kuda stalion adalah kuda stalion. aku
pun mulai menggosok-gosokan tangan ku karena angin dingin yang terbawa hujan
seakan senang menjamahi kulit-kulitku. kejanggalan yang kurasa adalah Anna
seperti tidak memperdulikan angin dingin yang menyentuh tubuhnya. dia sangat
fokus menikmati air yang turun dari langit. "apakah kau tidak merasa
dingin ? apakah kau ingin aku pesankan secangkir kopi panas untuk menghangatkan
diri ?"
"tidak...segelas coklat panas pun belum setengah aku
minum. badanku tidak merasakan apapun saat ini tetapi hati ku berasa
beku." Anna pun menunduk dan termenung. "kau boleh mengutarakan
kekeasalanmu padaku Anna, ya mungkin kita baru kenal beberapa menit yang lalu
tapi apa salahnya kau mengeluarkan kesedihan mu untuk menghangatkan hatimu yang
beku itu. aku adalah pendengar yang baik, beberapa temanku memberikanku julukan
'si tempat sampah' karena aku lah tempat mereka bercerita dan berkeluh kesah.
itu pun bila kau tidak keberatan bercerita aku hanya ingin meringankan beban
hati mu." aku pun ikut gelisah melihatnya, sesuatu yang ku benci adalah
melihat seorang wanita sedih karena teringat dengan ibu ku. aku tak suka
melihat ibuku melamun sedih karena itu aku mencoba untuk memberikan solusi yang
mungkin Anna waktu itu butuhkan.
"senang bertemu dengan anda Arthur tapi mungkin hari
ini bukan hari yang tepat untukku bertemu dengan orang baru" Anna
mengangkat tangan kanannya yang putih ke depan wajahku yang nampak kebingungan.
aku pun menjabat tangannya yang dingin karena hawa dingin kota ini semakin
menusuk. "ohh...oke Anna, maaf aku mengganggu sore yang semestinya kau
nikmati sendiri." Anna pun pergi
meninggalkan ku, otak ku mulai berdebat dengan hatiku. otaku seakan menyuruhku
untuk menyusulnya tapi hatiku menyuruhku lebih jauh lagi. "kenapa kau
tidak mengantarkan dia pulang ? aku tau dirimu keledai yang berlagak seperti
kuda stalion tetapi apalah hasil dari lagak sok menjadi kuda stalion tanpa kau
menjadi kuda stalion ! bila kau hanya menatapnya dari jauh, memang takdirmu
yang hanya bisa menjadi keledai !"
aku pun bergegas menjemputnya meninggalkan secangkir kopi
hitamku dingin.
to be continue
alta titus